Rabu, 11 Mei 2011

Lewat Matanya Aku Mengenal Cinta

Lewat matanya aku mengenal cinta. Mata itu semakin melemah sinarnya, namun tidak dengan cinta yang bersembunyi di balik sinar itu. Lewat senyumnya aku mengenal arti ketulusan. Senyum itu mengajariku menerima dengan sepenuh hidup apa yang diberikan oleh kehidupan ini. Senyumnya selalu tulus, mengalahkan sakit kami, mengalahkan riak dalam keluarga kecil kami. Lewat bulir keringatnya aku mengenal arti pengorbanan. Dia mengorbankan waktu tidur siangnya untuk mengantar penumpangnya ke berbagai tempat tujuan. Hingga pukul 10 malam, ia baru mengetuk pintu rumah untuk berisitirahat sejenak. Paginya ia sudah rapi dengan pakaian satpam, berangkat menuju sebuah SMA negeri dan berjaga di pos satpam hingga waktu sekolah usai. Keras memang. Hidup ini sungguh keras bagi ayah dan keluarga kami.
Ibu sendiri sejak bekerja di luar negeri 5 tahun silam tidak pernah pulang lagi. Sungguh malang nasibnya. Tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Ayah sendiri sudah pasrah. Kalaupun ibu sudah meninggal, itu sudah suratan takdir. Ayah sudah berusaha mencari informasi ke PJ TKI yang memberangkatkan ibu. Tapi, lembaga itu seolah lepas tanggung jawab. Mereka mengatakan bahwa mereka juga tidak tahu menahu tentang keberadaan ibu. Menurut pengakuan majikan terakhir, ibu kabur dari rumahnya dan tidak pernah kembali lagi. Itu yang kami dengar dari PJ TKI tersebut. Aku tidak habis pikir, kasus seperti ini tidak dilaporkan oleh PJ TKI itu ke pihak yang berwajib. Setiap hari aku mendengar artis ini dikabarkan mencoreng nama baik artis itu. Kasus mereka lalu diusut dan seolah-olah semuanya diurus bertele-tele agar masuk pemberitaan. Setiap perkembangan kasusnya dibahas berbagai infotainment. Tapi bagaimana dengan nasib seorang wanita paruh baya yang mengais rezeki untuk keluarganya di luar negeri sana. Bukankah dia juga warga Negara Indonesia tercinta ini? Kami sendiri tidak memiliki daya upaya untuk mengusut kasus ini. Akhirnya, seperti yang diajarkan ayah, kami hanya pasrah dalam kepedihan yang menyayat-nyayat.
Ayah hanya lulusan madrasah aliyah swasta. Sejak hilangnya kabar ibu, ayah mengurus sendiri ke empat anaknya. Harta yang ditinggalkan oleh wanita yang sangat ia cintai. Wanita yang ia idamkan menjadi istrinya sejak kelas 1 aliyah. Aku sendiri anak paling tua di keluargaku. Tanggung jawab untuk membantu ayah membesarkan adik-adikku tertumpuk di pundakku. Penghasilan ayah sebagai satpam dan tulang ojek cukuplah untuk membiayai sekolahku. Namun, penghasilan itu kelak tidak akan mencukupi kebutuhan hidup kami. Sebab, adik-adikku butuh biaya yang tidak kecil untuk melanjutkan sekolah sepertiku. Aku sendiri harus mengalah untuk tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Ayah tidak akan sanggup membiayai.
Sebenarnya ayah sudah meyakinkanku bahwa ia sanggup membiayai kuliahku kelak. Ia berjanji akan bekerja lebih keras. Tapi tegakah aku melihat tubuh kurus ayah untuk bekerja lebih keras dari saat ini? Umurnya tidak begitu lanjut. Namun, kerasnya hidup membuatnya tampak lebih tua dari umur yang sebenarnya. Aku ingin sekali ia jatuh cinta lagi agar menikah lagi. Aku rasa ia membutuhkan seorang pendamping yang baik. Yang akan membantunya mengurus rumah dan anak-anaknya. Aku tidak pernah berani meminta ayah menikah lagi. Apalagi adik-adik bersikeras tidak mau memiliki ibu tiri. Mereka trauma dengan kisah-kisah di televisi dan cerita teman-teman mereka.
Ayah, sungguh, lewat kesederhanaanmu, lewat tangan kasarmu, lewat letihmu yang tanpa keluh, aku banyak belajar tentang kehidupan ini. Tentang banyak sekali hal yang tidak bisa aku pelajari dari ibu. Atau mungkin lebih tepatnya dari almarhumah ibu. Ibu yang sempat kukenal sampai kelas 3 SMP. Ibu yang setiap ulangan umum membuatkan bubur kacang hijau untuk sarapanku. Ibu yang belum sempat melihat kelulusanku di SMP dan SMA. Ibu yang selalu menungguku dengan setia di depan rumah setiap hari pembagian rapot. Setiap Sabtu, saat hari pembagian rapot, ibu akan setia menunggu kepulanganku di depan rumah. Di sebuah bangku dari batang pohon jambu. Bangku yang cukup diduduki oleh 3 orang. Di atas bangku itu ibu akan memangku si bungsu dan menyambutku dengan senyum. Meskipun aku bahkan tak mampu meraih peringkat sepuluh besar, ibu tetap bangga padaku. Ia hanya memiliki harapan sederhana. Aku bisa naik kelas dan lulus. Itu saja.
Oh ibu, seandainya engkau masih berada di tengah-tengah kami. Seandainya kabarmu tidak menghilang bersama jasadmu, bersama senyummu, dan bersama getirmu, ayah tidak akan mengutuki dirinya sampai hari ini. Ia merasa sangat menyesal dan sangat berdosa karena membiarkanmu pergi ke negeri asing di sana. Ayah selalu mengutuki diri dan tidak pernah melalui hari-harinya tanpa rasa bersalah. Menitik dan berderai air mata ini. Basah mata dan hati ini mengingat kepedihan yang harus kami tanggung. Ditinggal ibu tanpa bisa mengenangmu lewat pusara. Sementara itu, rantai kemiskinan menggerogoti terus. Dan ayah, mungkin ialah satu-satunya yang harus menjadi alasanku dan adik-adikku untuk tetap bertahan hidup dengan penuh rasa syukur. Sebab, ayah, di tengah keputusasaanmu, engkau tegar dan mengajarkan ketegaranmu untuk menopang masa depan kami. Engkau ajarkan juga kepada kami untuk berani meyakini bahwa esok kami memiliki sebuah masa depan yang baik. Bahwa kami berhak bermimpi seperti anak-anak lainnya.
Kini, adikku yang persis urutannya berada di bawahku akan menamatkan SMA-nya. Ia tentu sangat membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku tahu, meskipun ayah diam tanpa keluhan, ia tengah berusaha keras mencari biaya untuk kuliah adikku. Aku sangat merasakan bebannya. Ia sepertinya ingin berbagi. Namun, aku tahu, ia tidak akan melibatkan anak-anaknya untuk menanggung beban yang ia pikul. Kulihat ayah pulang lebih awal dari sekolah. Setelah melepas seragam satpamnya, ia berangkat meng-ojek sampai larut malam. Lebih larut dari biasanya. Kami sangat khawatir. Aku sudah berusaha melarang ayah agar tidak pulang terlalu larut. Ayah hanya diam dan berlalu dari hadapanku. Dan hasilnya, malam ini ayah pulang dalam keadaan batuk-batuk. Aku takut udara malam yang konon begitu jahat itu menyakiti ayah kami. Ayah tidak melakukan salat witir seperti biasanya. Ia langsung berbaring. Kuselimuti tubuhnya yang semakin layu.
Keeseokan paginya ayah menggigil dan demam. Aku memberitahukan kepada pihak sekolah bahwa ayah sakit. Aku lalu menggantikan pekerjaan ayah meng-ojek. Sebenarnya agak risih. Tapi bayangan adikku terngiang-ngiang selalu. Aku juga ingin sekali ia melanjutkan sekolahnya. Aku tidak ingin ia berakhir sepertiku. Siangnya, selepas makan dan salat zuhur, kutengok ayah. Dia sanggup salat sambil duduk. Ia mampu makan beberapa sendok. Setelah ayah minum obat dan kupastikan sudah beristirahat kembali, aku menstater motor dan mencari penumpang. Alhamdulillah, hingga magrib tiba, aku sudah memperoleh banyak penumpang. Saat memarkir motor di halaman rumah, kulihat ayah duduk di teras dengan kain selimutnya. Ia kelihatan lebih baik dibandingkan tadi pagi. Hanya saja, kulihat ada bersit kemarahan di mata sayunya.
“ Kamu ini perempuan. Pakai jilbab lagi. Bisa-bisanya kerja sebagai tukang ojek. Tanpa izin Bapak lagi.”
Astagfirullah. Mengapa ayah bisa tahu bahwa aku menggantikannya mengojek? Aku membatin. Meskipun tanpa membentak, aku tahu bahwa ayah sedang marah dan lecewa kepadaku.
“ Pulang jam segini lagi. Siapa yang mengajarkanmu?”
Aku hanya bisa diam. Selama ini, aku lebih banyak menghadapi ayah dengan diam. Aku tahu aku salah. Dan aku tidak tahu harus berkata apa. Aku rasa tidak perlu ada pembelaan.
“Mana kunci motor?”
Kuserahkan kunci motor kepada ayah. Ayah merampasnya dengan sedikit kasar.
“Kamu tidak boleh ngojek lagi. Masuk!”
Malam itu berlalu dengan kekhawatiran yang teramat sangat. Ayah mengunci pintu kamar. Aku khawatir dengan keadaannya. Ia tidak mengizinkanku merawatnya.
Malam berlalu dengan gelisah. Aku berharap saat pagi menjelang, ayah akan bangun dalam keadaan bugar dan sudah memaafkan kesalahanku.