Di Atas Bumi Kami, Tumbuh Airmata yang Subur
Di atas bumi kami, tumbuh airmata yang subur
Langitnya mendung bertubi-tubi,
Pertanda hujan menyelimuti tenda-tenda kehidupan yang dipasung jeruji sunyi
Ada banyak empati, juga segepok wajah gelisah
Ada banyak tangki berisi darah, juga wajah bocah penuh nanah
Ada banyak tangis yang terlahir dari rahim, disambut selimut yang basah
Ada banyak kedinginan, dan lapar merekah
Sungguh, ada banyak kesedihan dengan wajah yang berubah-ubah
Di bawah langit yang menaungi bumi kami,
Ada atap-atap yang tertimbun tangis
Dan makam-makam yang mendesis,
seperti bunyi ular raksasa yang siap menelan sisa mimpi anak-anak kami
Gigi mereka belum lagi tumbuh sempurna, ingusnya mengering di lengan seragam sekolah
Namun, hari-hari yang selalu petang, dan tak jua beranjak terang,
mengajari mereka banyak hal,
Begitu banyak,
hingga mereka telah mampu mengeja syair yang dititipkan Tuhan lewat gelegar di malam-malam mereka yang temaram
‘Bukankah hidup bukan untuk hari ini yang tergenang banjir
Bukan juga untuk hari kemarin yang dilanda petir
Atau hari esok yang tampak mendung bergulir
Tapi hidup ini untuk waktu yang entah
Sampai kita menjemput sisa pijakan di dunia berantah
Dan kita menyaksikan senyum Tuhan merekah’
Jadi, saat bumi ini tumbuh di bawah langit yang temaram,
Saat bumi ini subur oleh luka yang lebam,
Tuhan tengah menyiapkan sebuah pualam,
Ada banyak pelangi yang benderang
Dan senyum Muhammad yang gemilang
Serta wajah Indonesia yang berangsur cemerlang